Cintaku, Cintamu, Beda!
Saya hanya mampu
menepuk bahunya berkali-kali dan hanya mampu mengucapkan kata “sabar”. Matanya
sudah bengkak, wajahnya tak lagi bersinar seperti saat ia baru datang untuk
menceritakan segalanya pada saya. Raut wajah itu menggambarkan luka yang tidak
dapat lagi dibahasakan melalui frasa-frasa kata. Dan, melalui ceritanya; baru
kali ini saya bisa merasakan, sakitnya mencintai hanya karena dibatasi oleh
perbedaan.
Padahal, wanita ini
punya alasan untuk selalu tersenyum dan bahagia. Wajahnya bagaikan pahatan
sempurna jemari Tuhan, percampuran darah Jawa dan Padang. Zodiaknya Leo, saya percaya dia wanita yang
tangguh. Boleh dibilang selain tangguh, dia juga nekad, begitu saja
meninggalkan kota Padang demi mengejar cita-citanya untuk menjadi penari. Dia
sangat jatuh cinta pada dunia tari. Tari layaknya napas yang
mendenyutkan peredaran darahnya hingga saat ini. Ia berasal dari keluarga yang
sangat menyayanginya, menjadi anak ketiga dari empat bersaudara adalah cara
Tuhan mengajarinya banyak hal, salah satunya
-
CINTA!
Berbagai peristiwa
membuka matanya, sampai pada akhirnya ia bertemu seorang pria; pria yang
mengajarinya banyak hal dengan cara yang tak biasa. Mereka saling bertatapan
ketika wanita ini sedang berusaha meredam rasa demam panggungnya sebelum pentas
tari. Pertemuan mereka tidak terencana, seakan-akan dunia sengaja berkonspirasi
untuk menjebak mereka dalam sebuah ilusi nyata, lalu terciptalah pertemuan absurd. Sulit dijelaskan, bagaimana
pertemuan nyata bisa mengubah cara pandang seseorang. Dan, ternyata tanpa
mereka minta, jemari hangat cinta telah meremas hati mereka yang beku. Cinta datang dengan tiba-tiba,
senyata-nyatanya, seada-adanya... begitu saja.
Pria ini adalah seorang
juru masak, dan wanita yang kudengarkan ceritanya tadi sangat jatuh cinta pada
setiap masakan yang dihasilkan jemari sang pria. Cinta semakin mengambil alih,
mereka sama-sama larut dalam kebahagiaan yang tak lagi terhitung. Hanya ada
senyuman tulus yang mengalir dalam setiap detik kebersamaan mereka. Cinta telah
membuat jiwa mereka seakan-akan berada di Taman Firdaus, tapi kenyataan hanya
bisa membuat mereka seakan terusir dari keindahan dan kemegahan Taman Firdaus.
Lagi dan lagi, karena perbedaan. Perbedaan macam apa yang bisa merenggut semua
kebahagiaan seseorang?
Wanita ini sedang
memanggil Tuhan, menyebut nama Tuhan seperti biasa, sambil melipat tangan dan
salib Yesus yang melingkar di lehernya seakan turut meremas segala kecemasan
yang bergumul dalam hatinya. Pria ini sedang bersujud, mengajak Tuhan berbicara
dengan bahasa yang berbeda, terjadi percakapan sederhana dengan bulir air mata.
Segalanya berbeda, tapi cinta membuatnya menyatu. Segalanya tak mungkin
disatukan, tapi cinta membuat dua orang berjuang bahkan untuk hal yang mustahil
sekalipun.
Awalnya, mereka memang
masih berproses untuk menerima dan menormalkan segalanya agar tak terlihat
seperti masalah besar. Perbedaan di antara mereka seringkali dijadikan bahan
candaan, juga kadang dijadikan sebagai bahan perenungan.
“Menurut kamu,
hubungan kita ini akan berakhir manis apa enggak?” tanya wanita ini, dengan
wajah penasaran dan tatapan minta diberi penjelasan.
Lama sekali pria
ini berpikir. Ia tak mau terlihat rapuh
di depan orang yang ia cintai. “Yakinlah berhasil. Karena pikiran kita akan
menuntun pada keberhasilan itu,” ucap pria ini mantap.
“Tapi dalam
sejarah, karena keyakinan kita berbeda membuat hubungan ini tidak mudah.”
terdengar nada keraguan dari bibir sang wanita. “Pasti ada yang terluka.
Padahal cinta harusnya membahagiakan.”
Bagi saya,
mereka terlalu manis juga terlalu romantis. Di mata saya, mereka adalah sosok
pasangan yang sangat kuat. Mereka berusaha membuktikan pada dunia bahwa mereka
hanya jatuh cinta, bukan berzinah layaknya ungkapan orang-orang yang sok ahli dalam
bidang agama. Perjuangan mereka menemukan banyak kerikil dan tikungan tajam,
air mata dan tawa bergantian menggores bibir. Dan, cinta... membuat mereka
percaya, tak ada yang sia-sia jika mereka masih ingin berusaha.
Dalam canda,
wanita ini sering menggoda sang pria. “Kamu harus bisa masakin keluargaku babi
rica. Enak lho! Kamu harus mencoba”.
“Kalau kamu
makan babi rica aku akan temani, tapi nggak akan aku memakan makanan itu”.
Seloroh pria itu
dengan candaan yang tak kalah lucu. Dan, mereka tertawa lepas. Masih bisa
tertawa bahkan dalam kekhawatiran mereka.
Semua masih
bercerita tentang bahagia, bahagia, dan bahagia. Mereka masih bisa menertawakan
perbedaan yang terjadi di antara mereka. Mereka tak ingin mengungkit luka yang
sebenarnya perlahan-lahan sudah tergores; sejak mereka tahu perbedaan tak mudah
untuk diperjuangkan.
Dan, apakah
hanya untuk bahagia, mereka perlu meninggalkan Tuhan dan menutup telinga
terhadap perkataan orang?
Untuk
teman saya yang belum berani saya sebutkan namanya
Kuatlah,
Teman...
Mereka
yang di luar sana tak pernah tahu apa yang kaurasakan
Mereka
mencibirmu, memakimu, dan menghakimimu
Karena
mereka tak pernah tahu... siapa dirimu sebenarnya.
0 komentar: